Home

Pages

Saturday, February 20, 2016

Teman Perjalanan

 
Jarum jam ditangannya masih menunjukkan pukul 6 pagi ketika Keira menginjakkan kaki di terminal kota. Udara pagi yang dingin menusuk nusuk tulangnya tanpa ampun. Keira merapatkan jaket denim yang memberinya kehangatan tak seberapa.
Sementara itu calo angkutan mulai berteriak mencari penumpang diantara hilir mudik orang dan penjual asongan.

Keira mendaratkan tubuhnya di atas bangku favoritnya. Bis itu masih terlihat lengang. Baru ada segelintir penumpang yang duduk diam di bangkunya masing masing. Ia melirik bangku kosong di sebelahnya. Dulu, pernah ada seseorang yang duduk di sana. Masih terbayang dalam ingatannya bagaimana teman perjalanannya itu mengoceh tentang banyak hal. Dan Keira selalu menjadi pendengar setia. Tapi kini semuanya telah berubah, teman perjalanannya telah memutuskan untuk tidak pernah lagi ada di sampingnya, baik di dalam bis ataupun di luar sana. Keira menghembuskan nafasnya perlahan seiring dengan seorang penjual asongan yang mendaratkan satu bungkus permen jahe di pangkuannya.

Bis mulai melaju dengan pelan, bagaikan kura kura yang terlalu berat memikul rumahnya sendiri. Seorang ibu yang kini duduk di sampingnya tengah asik memandangi gelang emas yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Gesturnya menyiratkan sebuah kebanggan, sama bangganya dengan teman perjalanannya ketika menceritakan setiap butir pencapaian yang telah dibuatnya.

Dua orang pengamen mulai beraksi di samping pak sopir yang tengah serius menjalankan armadanya. Suara gesekan biola dan petikan gitar bersahut sahutan dengan sangat harmonis. Tidak seperti hubungan Keira dengan teman perjalanannya, yang tidak harmonis lagi.
Dua orang penumpang tengah asik bercakap cakap tapi bukan lah percakapan senada yang telah membuat Keira ditinggalkan teman perjalanannya hingga kini.

"Apa perlu kamu merubah semua hal dalam diri kamu demi seorang cowok?" Keira menumpukan dagunya ke atas besi kursi yang catnya telah mengelupas.
"Loh memangnya kenapa? Denger ya Kei, kalau kamu ingin mendapatkan sesuatu yang berharga kamu harus bikin diri kamu berharga pula di matanya."
"Dengan menjadi orang lain?"
"Gak masalah menjadi orang lain, asalkan kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau."
"Kamu gak merasa lelah?"
"Semua lelah ku pasti terbayar nantinya. Telah berapa banyak peran yang aku mainkan untuk mendapatkan seseorang, dan semuanya berhasil kan?." 
"Dan setelah kamu dapatkan, lalu kamu campakkan begitu saja?"
"Masalah? Kamu bawel banget sih Kei?"
"Terserah kamu mau bilang aku apa, aku cuma gak ingin semua hal nantinya berbalik ke diri kamu sendiri."
"Semacam karma maksud kamu? Aku gak pernah percaya dengan hal seperti itu."
Sherly tersenyum, bibirnya yang tipis membentuk garis senyum yang sulit diterjemahkan oleh Keira.
"Hmm, aku tau, kamu cuma iri kan?"
"Iri? Maksud kamu?"
"Ya, iri, karena dia ini sebenarnya satu frekuensi kan sama kamu? Kamu suka dia juga kan?"
"Aku gak kenal dan gak tau siapa dia yang kamu maksud itu, Sher."
"Kamu pasti tau Kei, itu sebabnya kamu ngomong hal hal gak penting kayak gini ke aku."
"Aku..."
"Aku hanya ingin berbagi cerita sama kamu, bukan minta nasehat. Kalau kamu menginginkan dia juga, berlakulah fair. Aku turun di sini."
Keira terpana dengan apa yang Sherly katakan.
"Sher, tujuan kita masih jauh."
Sherly tidak mengindahkan teriakan Keira. Ia menyelinap di antara penumpang bis yang padat. Dan akhirnya turun di halte berikutnya.

Sampai detik ini Keira tak habis pikir dengan tuduhan Sherly kepadanya. Sebentuk nama kembali muncul di benaknya, Badik. Keira benar benar tidak mengetahui siapa sebenarnya cowok ini. Ia hanya tahu dari cerita Sherly yang katanya bertemu Badik di sebuah acara musik yang ia hadiri bersama teman teman SMA nya. Musik yang Sherly terjemahkan sebagai "musik kegemaran Keira". Sherly tidak percaya bila Keira tidak pernah tahu tentang orang yang dimaksudnya ini.

Keira membuang jauh jauh semua hal yang baru saja merasuki pikirannya, karena halte tujuannya telah terlihat jelas di depan matanya.

****

Keira mendaratkan kaki kanannya dengan selamat di atas bis yang penuh sesak. Beraneka macam aroma menyeruak tajam menyapa hidungnya. Kendaraan itu melaju pelan sambil terbatuk batuk. Satu halte telah dilewati tapi tidak merubah posisi Keira. Ia tetap berdiri berdesakan di dekat pintu. Tak lama bis berhenti kembali di halte berikutnya, ada beberapa penumpang yang turun, tapi lebih banyak yang naik. Lagi lagi Keira harus cukup puas bertahan di posisinya yang sekarang ini.

Bis mulai berjalan pelan ketika seorang pemuda berteriak sambil berlarian di luar sana. Ia berusaha menghentikan bis yang Keira tumpangi. Keira melongokkan kepalanya di antara penumpang yang berdiri acuh tak acuh. Keira bertanya dengan menggunakan bahasa isyarat sebisanya, yang kira kira bunyinya : apakah kamu akan naik? Pemuda itu mengangguk berkali kali. Spontan Keira berteriak "Kiri" dengan kerasnya, yang membuat pak supir berseragam biru itu langsung menghentikan bisnya dengan cepat.

"Makasih ya." pemuda beroblong putih itu kini telah berada tepat di samping Keira. 
"Sama sama, sesama penumpang bis harus saling membantu."
Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya yang bebas. 
"Kenalin, aku Ara."
Keira menyambut uluran tangan Ara dan menyebutkan namanya di antara laju bis yang kadang membuat tubuh mereka berguncang.

****

Keira merapikan tas tote nya sejenak, setelah ia dan Ara mendapatkan bangku untuk diduduki. Penumpang bis kini menyurut lumayan banyak menyisakan pak kondektur yang berjalan hilir mudik di antara kursi kursi yang semuanya terisi.

Keira memandangi pepohonan yang seakan berlarian di sampingnya. Pikirannya kembali melayang kepada Sherly. Rupanya Sherly benar benar tidak ingin berteman lagi dengannya. Sherly selalu menghidar bila secara tidak sengaja mereka berdua bertemu di kampus.

"Nirvana?" Tiba tiba suara Ara membuyarkan lamunan Keira.
Keira memandang Ara dengan dahi berkerut lalu menggeleng.
"Pearl Jam." 
"Aah, Ten, Vs, Vitalogy, album album yang menarik." Ara tersenyum, sementara Keira merasa aneh, mengapa Ara tiba tiba bertanya tentang hal itu.
"Kok kamu .." Kalimat Keira menggantung.
"Itu." Ara meunjuk tas bertuliskan “Grunge”, yang ada di pangkuan Keira.
"Gak banyak cewek yang suka dengan Grunge. Apa yang membuat kamu tertarik mendengarkan mereka?"
"Entahlah, sebagai penikmat banyak aliran musik, grunge memberiku sesuatu yang lain."
Ara manggut manggut.
"Pasti pernah dateng ke salah satu acaranya dong ya?"
"Pernah, dulu sekali, cuma satu kali."
"Kenapa cuma sekali?"
"Kurang suka dengan kerumunan nya. Banyak pemuja Nirvana yang pakai kacamata kuda. Ketika ada yang mengcover lagu milik band lain, mereka seakan kebakaran jenggot. Berteriak, mencaci, bahkan kursi bisa sampai melayang ke atas stage. Semestinya judulnya bukan Grungefest, tapi Nirvanafest." Keira menaikan bahunya.
"Itu dulu, sekarang beda kok."
"Beda? Sering hadir? " 
"Iya, selalu hadir."
"Sekarang, mereka gak hanya cover band luar aja kok, banyak di antaranya yang punya lagu sendiri."
"Oh ya? Kabar yang menggembirakan." Keira menutup jendela bis kota yang berjalan lamban itu.
"Aha, kapan kapan, kamu mau kan aku ajak menghadiri salah satu gig nya?"
"Entahlah, tapi makasih atas ajakannya."

****
Keira menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang kampus, ketika dari kejauhan ia melihat Sherly turun dari sebuah kendaraan berwarna hitam. 
Kemeja Flanel, Jeans robek, dan sneakers kini melengkapi penampilan Sherly. Rupanya Sherly memang serius dengan perannya. Lalu Keira melihat Sherly melambaikan tangannya ke arah kendaraan yang mulai melaju pelan itu. Mungkin Sherly telah mendapatkan apa yang ia mau, ya, seseorang yang berada di dalam kendaraan hitam itu, batin Keira.

****

Tidak seperti biasanya, bis yang Keira tumpangi dalam keadaan lumayan kosong. Banyak bangku yang masih tersedia untuk diduduki. Keira memilih duduk di dekat jendela, di mana ia bisa membukanya dan membiarkan angin menerpa sebagian wajahnya.

Keira menggeser jendela kaca itu, jangankan terbuka lebar, bergerak sedikit saja tidak. Lalu ia mengerahkan dua tangannya yang hanya menghasilkan satu celah kecil saja. Keira tidak menyerah, ia mencoba lagi dan lagi, sampai ada sebuah tangan ikut Ambil bagian. Tangan dengan aroma tubuh yang sangat menyegarkan, menggelitik hidung Keira yang telah jenuh dengan aroma tujuh rupa yang menguar di dalam bis kota. Ah rupanya Ara.

"Segini cukup?" Ara masih berdiri membungkuk di sela sela kursi yang sempit.
"Yap, makasih ya."
"Sesama penumpang bis harus saling membatu." Ara tertawa memamerkan deretan giginya yang cemerlang.
Keira tergelak.
"Dari mana? Kok naik di sini?"
"Gak boleh?" Ara mencabut sehelai benang yang menyembul di bagian lengan kemeja flanelnya.
"Maksudnya kemarin kamu naik di halte yang lumayan jauh dari sini."
"Dosen nya gak ada, jadi ke kosan temen dulu di atas."
"Oh, jauh banget ngekos nya dari kampus kamu."
"Gak boleh juga?" Tanya Ara kocak.
"Bukan gitu, aneh aja."
"Ya, soalnya kalau aku bilang nungguin kamu, pasti kamu protes iya kan?"
"Yee..."
"Tuh kan."
Ara mengeluarkan sesuatu dari tas gendongnya.
"Band sepupuku rencananya akan merilis mini album. Katanya mereka butuh pendapat dari orang luar." Ara mengulurkan earphone kepada Keira.
"Kamu minta pendapat ku? Tapi aku kan cuma..."
"Kamu adalah pendengar, dan pendengar adalah seseorang yang sangat dihargai pendapatnya."

Keira menerima earphone itu dan menjejalkankan nya di kedua telinganya.

"Yang menulis lagu ini pasti Nirvana sekali ya?" Keira melepas earphonenya. Satu lagu telah ia dengarkan.
"Ya begitulah, awal bikin band, karena dia jatuh cinta kepada Nirvana."
"Kental dan terasa sekali. Menurutku, ada beberapa sound gitar yang harusnya gak ada di situ, karena itu hanya akan mengingatkan kita kepada Nirvana."
"Sudah saatnya, seseorang mengeksplor sound nya sendiri."
"Selebihnya, liriknya kuat. Aku suka."
"Vokalnya?"
"Berkarakter, vokalisnya tau di mana dia harus melembutkan suaranya atau memberi aksen kasar. Dalam bayanganku, orangnya pasti Kurt Cobain sekali."
Ara menatap Keira tanpa berkedip, dan tersenyum penuh arti.

Sepanjang perjalanan itu, mereka membahas semua lagu yang ada di dalam pemutar musik itu.

****

Nyaris setiap hari, Keira bertemu dengan Ara. Ara berkata bahwa itu adalah kebetulan yang manis. 
Mereka pun semakin dekat, karena mempunyai banyak kesamaan dalam banyak hal. Keira pun mendapatkan teman perjalanan baru.

****

Keira baru saja menerima sobekan karcis dari kondektur bis, ketika Ara telah bergelantungan di sampingnya.
"Aku senang bila kali ini kamu bisa datang." Ara menyerahkan secarik kertas tebal berwarna abu abu.
Keira membaca kertas itu, lembaran yang sama seperti halnya yang diberikan Reno kepadanya kemarin ini.
"Mini album yang kita bahas kemarin, bakal dirilis di gig ini juga."
Keira manggut manggut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Gimana? Bisa kan? Aku jemput kamu."
"Hmm, kebetulan ada temanku yang maksa ngajak ke acara ini, lebih baik kita bertemu di sana aja ya."
"Teman kamu?" Ara mengerutkan keningnya.
"Reno, bassist nya Red Mosquito."
"Ooh dia temen kamu? Aku kenal dia. Oke, aku tunggu di sana ya."

****

Keira melangkah dengan ragu ke dalam gedung yang telah terisi penuh oleh orang orang yang berdandan nyaris seragam. Ia menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

"Kei, kemana aja sih, aku nungguin kamu dari tadi. Gak biasanya kamu ngaret gini."
Belum sempat Keira membuka mulutnya, Reno kembali berbicara.
"Pantes aja gak mau aku jemput, kamu sengaja dateng telat kan?"
"Yee fitnah, tadi nganter Ibu dulu belanja, sorry gak bilang. Jangan cemberut gitu dong.".
"Bukan gitu, kamu melewatkan band band bagus yang tampil awal awal."
"Ya, ga papa lah, yang penting aku belum melewatkan kamu."
Reno pun lalu menyeret Keira menuju kerumunan.

Keira mencari cari Ara, tapi sejauh mata memandang ia tidak menemukan pemuda itu. Yang tertangkap matanya adalah Sherly. Sherly menghampirinya. Derap sepatu doc mart nya seakan mengancam keberadaan Keira di sana.

"Selama ini aku benar kan? Buktinya kamu ada di sini."
Sherly mengibaskan rambut panjangnya ke arah Keira dan berlalu.

****

Seorang MC berambut gimbal mulai bercuap cuap di atas stage, memperkenalkan sebuah band yang akan segera tampil.

"Tetua naik nih." Reno terlihat sangat antusias.
"Tetua?" Keira mengerutkan dahinya.
"Yoi, Badik kan tetua komunitas ini, aku bisa gabung dengan Red Mosquito, juga berkat dia." Reno menunjuk seorang pemuda bertopi merah yang sedang mencoba gitarnya.
"Kamu sih dulu keburu pulang, kalo enggak, pasti aku kenalin," lanjut Reno berapi api.

Keira menatap pemuda yang sebagian wajahnya tertutup oleh bayang bayang topi yang dikenakannya. Gesturnya mengingatkannya kepada Ara.

"Guys, terima kasih sudah berkerumun di sini. Lagu ini adalah manifestasi dari kepercayaan diri terhadap sound milik kita sendiri. Terima kasih untuk seorang teman yang telah memberi banyak masukan, you rwaaak." Bassist bernama Levy Itu berteriak dengan gaharnya.

Sang vokalis bertepuk tangan yang di sambut oleh tepukan dan teriakan dari kerumunan.

Intro lagu mulai terdengar, dan membuat Keira mematung sejenak. Lagu yang mereka bawakan adalah lagu lagu yang pernah Keira bahas dengan Ara. Jadi sebenarnya band bernama Badsound ini adalah teman teman Ara? Tapi kemana Ara? Sampai saat ini Keira belum melihatnya.

Nama Badik dan teman temannya diteriakkan berkali kali sesaat setelah mereka turun dari stage. Mata Keira mengikuti kemana Badik pergi, Keira merasa ada yang aneh dengan sosok itu. 
Badik terlihat berjalan ke arahnya, namun sebelum ia sampai di hadapan Keira, seseorang menarik lengan Badik menjauh. 
Diam diam Keira mengikuti kemana mereka pergi.

"Maksud kamu apa sih Dik? Nyuruh nyuruh Levy deketin aku?"
"Aku gak pernah nyuruh dia, itu kemauan Levy sendiri."
"Kenapa kamu gak ngerti juga sih. Aku selalu ada di sekitar kamu karena aku ingin dekat dengan kamu, bukan Levy, sepupu kamu itu."
"Kamu memang gak pernah menghargai aku, yang telah bersusah payah menjadikan diriku seperti apa yang kamu suka." Suara Sherly mulai terdengar bergelombang.
Badik tersenyum lalu membuka topinya. Keira terbelalak, Ara?

"Terima kasih atas semua perhatian yang telah kamu berikan Sher, tapi maaf, aku lebih menyukai gadis yang menjadi dirinya sendiri."
Sherly terisak.
"Simpan air mata kamu untuk seseorang yang lebih berharga dari aku."
"Badik..." Sherly berteriak.

Keira tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya, ia ingin berlari dari sana tapi kakinya seakan akan digelayuti oleh bongkahan besi yang sangat berat. Badik menghampirinya dengan wajah terkejut sekaligus bahagia.

"Hai Kei, aku senang kamu bisa datang." Badik atau Ara kini telah ada di hadapannya. 
"Jadi selama ini kamu bohongi aku? Aku gak suka."
Keira melangkah pergi, menyisakan kening Badik yang berkerut.
Dengan tangkas Badik menangkap lengan Keira dan memaksanya untuk berhenti.

"Aku bohongi kamu? Tentang apa? Well, oke, aku memang berbohong tentang tujuan ku, bila aku naik bis yang sama dengan kamu. Tapi selebihnya enggak."
"Selebihnya enggak? Bagaimana dengan nama kamu."
"Nama? Namaku Badikara. Komunitasku mengenal aku dengan nama Badik, tapi di luar aku lebih menyukai nama Ara. Apa aku salah?"
"Ya, karena bila aku tahu nama kamu Badik, aku tidak akan pernah mau bicara dengan kamu."
"Tapi kenapa?"
"Karena Sherly, dia temanku dan dia menyukai kamu."
"Sherly memusuhi aku karena kamu."
"Karena aku?"
"Ya, karena Sherly mengira aku menyukai kamu juga."
"Apakah iya?" Badik menatap Keira penuh harap.
"Iya apa?"
"Kamu menyukai aku?" Badik mengulum senyumnya.
Keira menginjak kaki Badik dengan sekuat tenaga, dan berlalu.
"Kalo aku gak usah ditanya Kei, karena Aku menyukai kamu sejak pertama kali kita bertemu." Badik berteriak sambil berjalan tertatih tatih menyusul Keira yang berjalan cepat ke arah jalan raya.

****

Seperti biasa, pagi itu Keira telah duduk rapi di bangku favoritnya ketika wangi aroma melati berkelebat menyentuh hidungnya. Tak berapa lama seseorang menempati kursi kosong di samping Keira.

"Hai, Kei." Si aroma melati menyapa Keira ringan.
"Sherly?"
"Kei, maafkan aku ya. Selama ini aku telah menuduh kamu. Apa yang pernah kamu katakan semuanya benar, dan itu rasanya sakit sekali."
"Tapi aku sadar, di dalam rasa sakitku ini ada sebuah pelajaran, bahwa menjadi diri sendiri itu tidak akan pernah menyakitkan."
Keira tersenyum, ada rasa hangat yang menjalari hatinya.
"Terima kasih ya, kamu masih mau menerima aku menjadi teman kamu." Sherly memeluk Keira hangat.
"Kamu akan selalu menjadi temanku Sher, teman perjalanan di atas bis maupun di luar sana."

****

Keira memandang keluar jendela. Di dalam bis yang lain, terlihat seseorang tengah tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Seseorang yang pernah menjadi teman perjalanannya. Seseorang yang kini menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. 

Oleh: Ika Septi

*Kompasiana

Comments
0 Comments