Home

Pages

Sunday, February 21, 2016

Peranan Filsafat dalam Perguruan Tinggi

Bahwa bukan hanya manusia, belajar pun dilakukan hewan dalam setiap langkah kehidupannya. Burung mengajarkan anak-anaknya terbang, kera mengajarkan anak-anaknya mencari dan memilih buah, harimau mengajarkan anaknya berburu. Hampir setiap pengajaran bertujuan mempersiapkan mahluk-mahluk hidup untuk menghadapi kehidupan di kemudian hari.

Berbeda dengan hewan, manusia memberikan istilah yang berbeda dari sekedar belajar. Bila hewan bergerak dan berkehidupan lebih banyak ditentukan oleh naluri dan instinknya, maka pada manusia tentu berbeda.

Manusia memberikan bekal secara paket lengkap berupa rangkaian pengajaran yang berjenjang berirama. Mulai saat baru lahir kemudian menyusui, ibu akan mengajarkan tentang cara menghisap susu yang baik agar bayi dapat menyusu secara optimal. Tidak sekedar berkomunikasi, manusia belajar tentang cara berkomunikasi yang baik. Tidak hanya sekedar berjalan, manusia belajar tentang bagaimana cara berjalan. Tidak hanya sekedar duduk, manusia belajar tentang cara duduk yang baik. Bahkan makan, minum, tertawa hingga tentang semua cara memenuhi kebutuhan biologisnya, manusia selalu belajar hingga mampu menyesuaikan diri sesuai dengan waktu, tempat, keperluan dan keberadaannya.

Secara teori, pengajaran berupa:

1.    Penerusan pengetahuan dari sebuah generasi ke generasi berikutnya;

2.    Persiapan generasi berikutnya agar secara mandiri mampu bertahan dalam menghadapi kehidupan;

3.    Pembentukan generasi berikutnya agar dapat menjadi bagian dari sebuah kelompok atau komunitas kehidupan;

Bila jaman dahulu, manusia mempelajari segala sesuatu mengalir begitu saja mengikuti perkembangan yang ada. Semakin hari, manusia merasa perlu membuat berbagai pengukuran sebagai standar penilaian. Pembuatan standarisasi penilaian bertujuan untuk lebih memudahkan pengarahan pengelompokan generasi berikut sesuai dengan kemampuannya. Hasil analisa kemampuan tersebut, akan lebih mempermudah penempatan posisi-posisi hasil didikan agar bisa mengimplementasikan diri secara optimal didalam masyarakat.

Harapan para pendidik, agar generasi berikut kelak dapat menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya. Secara individu, para pendidik mengharapkan hasil didikannya dapat menjadi bagian terbaik dari sebuah kelompok masyarakat.

Bila awalnya standar penilaian merupakan hasil dari pengukuran kemampuan seorang anak didik terhadap penerimaan materi yang diterimanya, dan atau merupakan cara mengukur seorang pendidik dalam meneruskan (mentransfer) ilmu kepada anak didiknya, maka saat ini kebanyakan manusia hanya mengejar nilai itu sendiri.

Sayangnya, belakangan ini banyak sekali terjadi penyimpangan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Pada saat ini di Indonesia, standar penilaian bukan merupakan cerminan dari hasil pengukuran kemampuan anak didik terhadap penerimaan materi, dan atau bukan cerminan pengukuran kemampuan seorang pendidik dalam mentransfer ilmunya.

Penyimpangan ini dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada.

Sejak awal SMP, para siswa di Indonesia telah menerima pelajaran bahasa Inggris. Hingga selama 6 tahun belajar, namun kurang dari 50% (lima puluh persen) lulusan SMA tidak mampu berbahasa Inggris.

Banyak lulusan SMA IPA dengan nilai cukup, bahkan pada saat setelah lulus 3 (tiga) bulan, mereka tidak mampu memahami persoalan-persoalan taktis yang seharusnya bisa diimplementasikan dari ilmu yang didapatnya di SMA.

Banyak lulusan SMA IPS dengan nilai cukup, bahkan setelah lulus, tidak mengetahui posisi-posisi geografis dari sebuah pulau; dari sebuah Negara terhadap Negara lain, atau bahkan tidak mengetahui seorang Daendels.

Penyimpangan ini bukan melulu karena kesalahan pendidik, bukan kesalahan siswa didik, bukan kesalahan orang tua siswa. Ini merupakan kesalahan Negara dalam membuat sistem pendidikan.

Mengingat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia “

Bahwa bila mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian dari tujuan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, maka kemerdekaan kita belum mencapai tujuannya.

Bila nilai tinggi bukanlah cerminan kecerdasan, lalu bagaimanakah kebenaran tentang ukuran penilaian standarisasi mencerdaskan kehidupan bangsa.

a.     Filsafat Dalam Pendidikan

Keprihatinan membawa pemikiran saya dalam sebuah perenungan. Perenungan yang membuat kita senantiasa bertanya, dimana letak kesalahannya, bagaimana seharusnya, dan bagaimana memperbaikinya.

Bahwa selama ini, kita belum secara optimal melakukan pemetaan terhadap sumber-sumber kekayaan budaya, sumber daya bumi, air dan mineral sehingga kita mampu membuat perencanaan pemetaan kebutuhan sumber daya manusia. Dari sinilah kita bisa memulai perencanaan pendidikan, memulai rencana mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan kondisi sumber kekayaan budaya, sumber daya bumi, air dan mineral yang ada di Indonesia.

Bahwa bila kita tidak optimal dalam melakukan pemetaan terhadap sumber-sumber daya manusia. Kita tidak akan mengetahui seberapa banyak tenaga tani trampil yang diperlukan di pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan utama kita, termasuk pengembangan peralatan demi hasil pertanian yang optimal. Kita belum akan mengetahui seberapa banyak nelayan yang diperlukan di kelautan agar memenuhi kebutuhan hasil laut yang optimal, termasuk pengembangan peralatan agar hasil laut tercapai secara optimal. Belum lagi di bidang peternakan, perkebunan, pariwisata, pertambangan, pendidikan, hukum, dan banyak bidang lain yang merupakan kebutuhan-kebutuhan kehidupan generasi berikutnya di negeri ini.

Secara mendasar kita harus mampu mengembalikan pemikiran bahwa pendidikan adalah:

1.    Penerusan pengetahuan dari sebuah generasi ke generasi berikutnya di kehidupannya;

2.    Persiapan generasi berikutnya agar secara mandiri mampu bertahan dalam menghadapi kehidupannya;

3.    Pembentukan generasi berikutnya agar dapat menjadi bagian dari sebuah kelompok atau komunitas kehidupannya;

Pada dasarnya, bila Negara kita telah mampu melakukan pemetaan dasar-dasar kehidupan yang ada pada sekitar kita, maka tidak akan terlalu sulit membuat rencana mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan kondisi sumber kekayaan budaya, sumber daya bumi, air dan mineral yang ada di Indonesia.

b. Pendidikan Perguruan Tinggi

Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan bangsa kita ke arah yang lebih baik. Sebagian besar perubahan yang ada di negara ini dimulai oleh mahasiswa

Perguruan Tinggi, sebagai tempat munculnya calon para intelektual negeri harus mengetahui secara jelas tentang TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI, tiga pilar dasar pola pikir dan menjadi kewajiban bagi mahasiswa di negara ini.

Tri Dharma Perguruan tinggi meliputi :

1. Pendidikan;

Sebagai kaum  intelektual bangsa, mahasiswa/i dituntut untuk meningkatkan mutu diri secara khusus sesuai dengan disiplin keilmuannya. Gelar merupakan simbol dari kesatuan diri dan disiplin ilmunya. Simbol tersebut merupakan kewajiban bagi dirinya untuk dapat dapat mengimplementasikan keilmuannya bagi kemaslahatan umat di sekitar kehidupannya.

2. Penelitian dan Pengembangan;

Ilmu yang didapatnya melalui perguruan tinggi harus mampu membentuk dirinya menjadi manusia kritis terhadap sekelilingnya. Segala sesuatu memiliki korelasi dengan disiplin keilmuannya, harus menjadi catatan-catatan tersendiri yang dapat menjadi sumber-sumber yang dapat dipercaya sebagai bagian dari perubahan perkembangan zaman yang terus mengalir. Ilmu harus menjadi unsur pemicu bagi perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kehidupan sekelilingnya.

3. Pengabdian kepada Masyarakat

Sebutan mahasiswa, adalah arti yang yang tertinggi dari semua siswa. Bagian tertinggi dari sebuah inti kehidupan adalah mengabdi. Mengabdi bukanlah diartikan menghamba pada sebuah keadaan tertentu. Pengabdian berarti mengajak orang-orang sekelilingnya untuk dapat menerima manfaat keilmuannya. Mahasiswa yang telah mendapatkan simbol atas sebuah gelar kesarjanaan harus mampu menjadi pelopor dalam masyarakat, menjadi agen perubahan yang dapat memajukan negaranya.

Sebagai mahasiswi di Universitas Mpu Tantular (UMT), saya mengajak kita untuk mengingat pasal 1 Lampiran SK. Rektor Nomor 11 tertanggal 25 Agustus 1984:

Membentuk manusia pembangunan, berjiwa Pancasila, penuh pengabdian, dan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Mempersiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan, mandiri, dan mampu memajukan ilmu pengetahuan.


PERANAN FILSAFAT DALAM PERGURUAN TINGGI

Sebagai mahasiswa, melihat berbagai penyimpangan yang bila dibiarkan terus-menerus akan membawa dampak buruk bagi Negara ini, tentulah menjadi kewajiban untuk dapat melakukan perbaikan.

Perguruan Tinggi harus mampu mengemban amanat kebijaksanaan agar pendidikan terintegrasi dengan jumlah tenaga kerja. Perguruan tinggi harus mampu membuat proyeksi potensi-potensi yang ada di sekelilingnya. Perguruan Tinggi harus mampu menghitung angka perbandingan kebutuhan terhadap potensi yang ada. Keilmuan sebuah perguruan tinggi harus mampu membuat angka-angka statistik yang mendekati kebenaran agar Negara ini mampu membuat perencanaan “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang lebih baik.

Angka statistik menghasilkan pemetaan yang masing-masing akan menentukan dasar-dasar kebutuhan sumber daya manusia sesuai dengan bidang kemampuannya, sesuai dengan sumber daya bumi, air atau mineral nya juga harus sesuai dengan daya dukung nilai-nilai budaya yang ada di sekelilingnya. Pemetaan tersebut akan mampu memprediksi seberapa besar tenaga pendidik yang diperlukan dalam upaya memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan sesuai dengan kemampuan.

Sumber daya manusia tersebut harus mampu dirangsang agar mampu terdistribusi secara merata sesuai dengan area kebutuhan di seluruh tanah air.

Mahasiswa lulusan hukum pada akhirnya harus mampu membuat regulasi-regulasi agar tercipta sistem yang menghasilkan kebijakan yang berputar ke segala arah. Regulasi yang dapat membuat terciptanya pendidikan pemenuhan kebutuhan sumberdaya manusia bagi seluruh bangsa Indonesia. Sehingga tercipta pendidikan dan pemenuhan sumber daya manusia yang saling bersinergi.

Pada akhirnya, perguruan tinggi harus dapat ikut terpanggil membenahi kembali sistem pendidikan yang menyimpang. Lulusan kesarjanaan, dengan segala gelar pendidikannya harus bisa mengembalikan “ruh” pendidikan sendiri. Mahasiswa harus mampu memulai dari diri menantang arus dan melakukan tindakan, bahwa hasil akhir pendidikan bukan pada sebuah nilai yang tinggi, tetapi pada sebuah kemampuan yang mampu menjadikan generasi berikutnya menjadi:

1.    Memiliki pengetahuan agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya;

2.    Mampu secara mandiri bertahan dalam kehidupannya;

3.    Mampu membentuk generasi berikutnya menjadi kelompok yang lebih baik dalam komunitas kehidupannya.

Filsafat dalam perguruan tinggi berperan mengembalikan keberadaan para mahasiswa/i, menjadi kumpulan siswa dengan ke “maha” annya. Perguruan tinggi sebisa mungkin bukan tempat mencetak para lulusan untuk menjadi tenaga kerja. Mahasiswa/i sebisa mungkin bukan menjadi bagian yang ikut-ikutan ngantri pada deretan pelamar pada sebuah perusahaan. Perguruan tinggi harus mampu mencetak para pelopor. Gelar sarjana lulusan perguruan tinggi tidak boleh menjadi bagian deret antri pelamar pekerjaan, tetapi harus mampu membuat deret antri bagi sebuah inovasi, menviptakan lapangan kerja baru, dan menjadi bagian dari pembangunan Negara.

Hidup senantiasa berputar, kejujuran akan selalu menjadi kebaikan di masa depan, karena hidup bukan diukur dari apa yang kita punya, tetapi hidup adalah seberapa kemampuan kita melakukan bagi sesama. (Herlina Butar-Butar)

Oleh : Herlina Butar-Butar

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/linapers70/peranan-filsafat-dalam-perguruan-tinggi_56ca00a5137f61ad18cd6662

Comments
0 Comments